Jathilan berasal dari kata jathil yang mengandung arti menimbulkan gerak reflek melonjak,
sebagai tanda memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan ini tersirat dalam
tarian yang diilhami oleh ceritera Panji yang mengisahkan pertemuan
Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji.
Disebut juga jaran kepang karena tarian ini mempergunakan alat peraga berupa jaranan (kuda-kudaan) yang bahannya terbuat dari kepang (bambu yang dianyam), Sedangkan kuda lumping juga mempunyai arti yang sama karena lumping berarti kulit atau kulit bambu yang dianyam, sehingga secara bebas dapat diartikan sebagai pertunjukan dengan kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu atau kulit bambu.
Sesuai dengan perkembangan jaman, seni
kuda lumping yang selalu ditampilkan untuk mendatangkan roh-roh itu
berkembang menjadi kesenian yang ditampilkan hanya untuk menyongsong
datangnya raja-raja atau pemimpin sebagai tamu resmi yang dihormati.
Meskipun demikian dalam penampilannya masih juga ditemukan pemain-pemain
yang kesurupan, tetapi pada prinsipnya bukan lagi bertujuan untuk
mendatangkan roh-roh halus.
Sesuai dengan perkembangan jaman, kuda
lumping tidak lagi dipertunjukkan dengan pemain yang kesurupan dan
mendatangkan roh-roh halus. Bentuk tari kuda lumping jenis baru ini
berkembang baik di beberapa tempat antara lain di Kabupaten Temanggung.
Di sini kuda lumping sudah dikembangkan dengan kreasi-kreasi baru.
sehingga gerak tari tidak lagi monoton. Para seniman dan seniwati
dilatih dengan gerakan-gerakan baru yang dinamis dan indah sehingga
dapat diterima oleh masyarakat luas.
Dengan demikian kini ada dua jenis tari
kuda lumping yang dapat dinikmati, yaitu yang mengutamakan gerak tari
yang enak ditonton dan jenis yang mengutamakan penampilan kesurupan pada
pemainnya.
Kesenian jathilan yang merupakan
cikal-bakal tari kuda lumping tentu sangat berbeda dengan tarian yang
ada sangat berbeda dengan tarian yang ada sekarang. Perbedaan tersebut
tampak antara lain pada alat musik, bentuk kuda, busana penari dan
sebagainya. Alat musik pada Kesenian jathilan cukup dengan satu kendang,
dua bende, tiga angklung dan satu gong bambu. Sedangkan kuda lumping
sudah banyak sekali tambahannya, antara lain, kecek, demung, kenong,
kelinning dan lain-lain.
Bentuk tari lumping, seperti namanya
menyesuaikan gerakannya dengan gerakan-gerakan kuda dan rangkaian ragam
tarinya menggambarkan olah keprajuritan yang tegas dan berjiwa ksatria.
Nama ragam tarinya antara lain, untu walang, kiring duap, congklang,
tamburan, dan pincangan.
Fungsi pertunjukan mengalami perubahan sangat nyata. Kalau dulu lebih banyak berfungsi sebagai pertunjukan yang diselenggarakan ketika berlangsung upacara tradisional, misalnya ketika berlangsung upacara bersih desa, kini lebih banyak berfungsi sebagai penyambutan tamu atau hiburan semata-mata. Dengan demikian pementasannya tidak lagi terikat oleh waktu dan tempat, tetapi dapat diselenggarakan di sembarang tempat.
Fungsi pertunjukan mengalami perubahan sangat nyata. Kalau dulu lebih banyak berfungsi sebagai pertunjukan yang diselenggarakan ketika berlangsung upacara tradisional, misalnya ketika berlangsung upacara bersih desa, kini lebih banyak berfungsi sebagai penyambutan tamu atau hiburan semata-mata. Dengan demikian pementasannya tidak lagi terikat oleh waktu dan tempat, tetapi dapat diselenggarakan di sembarang tempat.
Seni rakyat kuda lumping
yang semula hanya digemari oleh masyarakat Jawa kini mulai dikenal dan
digemari oleh masyarakat luar Jawa. Jathilan yang sangat tradisional
kemudian berkembang menjadi tari kuda lumping dengan kreasi baru,
membuat kesenian ini menarik untuk dinikmati. Bahkan wisatawan asing pun
menggemari. Tari kuda lumping yang sudah sangat dikenal di bumi
Nusantara sudah seyogyanya terus dikembangkan.